(note: Halo! Sudah lama tidak bersua. 2018 hampir berakhir, dan banyak cerita yang belum sempat tersampaikan disini. Salah satunya ini—kunjungan singkat ke Kota Tua, bulan September 2018.)


Di akhir pekan yang penuh dengan tugas numpuk dan pikiran-pikiran yang mengganjal, dengan santainya saya memutuskan untuk pergi jalan-jalan sejenak ke salah satu tempat wisata paling terkenal di Jakarta, yaitu Kota Tua. Niat jalan-jalan ini muncul setelah saya lihat Instagram-nya Andini yang baru dirombak jadi akun fotografi. Nah, akhirnya saya pun ngajak Andini untuk hunting foto di sekitaran Jakarta. Karena lagi nggak ada ide mau kemana, Kota Tua pun jadi pilihan. Saya sendiri juga sudah lamaaa banget nggak kesini. Jadi, penasaran juga tempatnya sekarang sudah seperti apa.

Perjalanan dimulai dari Stasiun Tebet. Cukup bermodal Rp3000 saja kok untuk ke Stasiun Jakarta Kota. Saya sendiri baru sekali naik KRL ke arah kota. Maklum, pengalaman per-KRL-an saya juga baru dimulai semenjak masuk kuliah baru-baru ini.

Dari Stasiun Kota, saya dan Andini jalan kaki ke arah Museum Fatahillah. Berhubung belum terlalu siang, disana belum terlalu ramai.

Stasiun Jakarta Kota

Jalan dari Stasiun menuju Museum Fatahillah.

Masih banyak delman yang beroperasi di sekitar Kota Tua.

Sepeda onthel warna-warni.

Nasi pecel di Jalan Lada.

Saya cukup kagum sat melihat jalanan di samping Museum Fatahillah yaitu Jalan Pintu Besar Utara. Jauh lebih bagus dan bersih dibandingkan dulu. Kafe-kafe yang cukup banyak membuat jalan ini terkesan lebih 'hidup'. Karena masih pagi dan masih sepi, saya bisa mengambil beberapa foto di sepanjang jalan.







Menjelang siang, saya dan Andini mampir untuk makan di kantin yang letaknya masih dekat dengan Museum Fatahillah. Sayangnya, makanannya nggak ikutan ke-foto :( Hehe



Setelah puas menyusuri sekitar Museum Fatahillah, kami menuju Kali Besar. Agak sulit untuk jalan karena trotoarnya belum rampung dan malah dipakai sebagai tempat parkir motor. Jadi, kami harus berhati-hati jalan di aspal yang sebenarnya juga merupakan jalur busway.



Saya cukup kaget saat melihat Kali Besar yang tidak terlalu ramai pengunjung bahkan di saat weekend.





Sebelum pulang, kami menyempatkan diri untuk duduk-duduk manis di Kopi Kota Tua di Jalan Pintu Besar Utara. Saya memesan Kota Tua Coffee Mix (kanan), sedangkan Andini memesan Chocolate Milkshake (kiri).



Terlepas dari hiruk pikuknya, Jakarta ternyata selalu bisa jadi tempat untuk berbahagia. Semoga lain kali berkesempatan untuk menelusuri sudut-sudut lainnya.



Nox,

Ray

(I originally wrote this last February, but I reckon that this still accurately represents my thoughts.)

True Love Waits by Radiohead

from the album I Might Be Wrong (Live Recordings) and Moon Shaped Pool

The moment I realized that I love this song was last year. I remember I was in the car, curled up in my jacket on the way to grandma's. That moment, I had just woken from the road-trip-nap and this song (the Moon Shaped Pool version) was played on the car's stereo. Then I thought about how perfect everything was—the fusion of that song and the chilling morning air. It was soothing, and it felt like everything I ever needed.

Time flies. This song is now what I call: my personal life soundtrack, especially when it comes to a certain theme, like love. When I get married, or even when I lay in my death bed at the end of my life,  this is the exact song that I wish will be played.

Thom Yorke might have his own intentions and interpretations when he wrote this song. Maybe it's about his relationship, maybe it's about his emotions. Whatever it is, I'm just grateful that he can turn it into such a tragically beautiful piece.

For me, what makes a song so exquisite is the way I feel about it. This song represents the journey of finding the true love of my life. The soulmate. The person that was meant to be my other whole (and not half, because I believe there's no person in the world that was meant to be a half.)

When you're in love with someone, do you ever feel their presence very close to you, even when they are not actually there? Have you ever feel like they are in your veins? When you wake up from a nice sleep, can you just feel his heartbeat beating along with yours even if it doesn't?

That happens to me. Not once, but always. It always happens to me every time I fall in love. Every time I realize that I can love. It doesn't matter to me if he may not be the one. You can't force the way you can feel about someone, or the way they can feel about you. Nor you can change it. If he's not the one for me, I should be able to believe there will be a time where I can just stop loving him, and fall for someone else instead, even if it seems impossible.

Life moves. What true love waits mean to me is that it will take time for me to eventually meet that one person.

"And true love waits, on haunted attics."

His presence can still be hidden somewhere because you haven't met him yet.

"And true love lives on lollipops and crisps."

Or he could be someone that I've met and I slightly like, but I just 'missed' him along the way.

Just believe that in the end, you will be with that person that can change your life. There is already a scheme for the moment to come.

Lastly, one of the most important lessons I have ever learned throughout my life is that you can survive life simply by (1) being loved, and (2) loving. Not everyone has the favor of feeling like they are loved. But everyone can always share their love, through both emotion and action. In this case, it can be your dearest friends, family members, or people that you adore. Love makes you stronger, tougher, and above all, it makes you realize that in this world, you are never alone.

Nox,

Ray

Kumandang adzan Ashar menelusup masuk lewat sela-sela jendela kamar. Aku membuka mata, menatap dinding yang berbayang remang-remang.

Sehabis melipat selimutku yang kusut, aku melangkah ke dapur, melewati ruang tamu dimana seorang anak gadis nampak terbahak-bahak di depan ponselnya. Ia tak menyadari aku yang lewat tak jauh di depannya.

Kuambil setoples bubuk teh dari rak di dapur. Lalu, perlahan kusulap jadi minuman teh manis hangat. Dua cangkir.

Dengan nampan yang sudah berkarat-karat, kubawa keduanya keluar. Ke teras depan rumah. Tempat aku biasa memandangi Pangrango yang kokoh. Tempat dimana aku biasa memandangi langit yang mulai meredup. Tempat dimana aku biasa memandangi kamu yang tengah duduk.

Kuletakkan nampan itu di meja. Kemudian, kutempati bangku di sebelahmu. Meja di antara kita bukan pembatas; ialah yang menjembatani kita berdua. Satu cangkir teh untukmu, satu lagi untukku. Selalu seperti itu.

“Kok teh yang kemarin nggak diminum?” tanyaku menggerutu, membuka pembicaraan.

Kamu tertawa. Masih mengisap sigaret yang asapnya mengepul menutupi wajahmu.

“Nggak pa-pa. Saya tahu kamu suka sekali teh. Barangkali, kalau punyamu sudah diminum habis, kamu nggak perlu buat lagi. Minum aja yang punya saya.” jelasmu. Penjelasan yang bagiku sedikit konyol, namun mampu membuatku terkikik. Kamu selalu bisa membuat kekonyolan menjadi sesuatu yang manis. Melebihi manisnya teh dalam dua cangkir yang kubuat.

“Ah, kan ini saya raciknya untuk kamu. Bukan untuk saya sendiri,” aku berupaya membujuk. Kamu masih belum mau menyentuh cangkirnya.

“Yang kamu buat untuk saya, ada racunnya ya, jangan-jangan? Sampai harus sekali saya yang minum?” tanyamu usil. Pandangan matamu beradu dengan pandanganku. Kamu suka menggoda. Kamu selalu penuh canda.

Aku hanya melengos. Tak mau menyerah, kuambil cangkir teh milikmu. Kuteguk isinya sampai habis tanpa sisa.

“Tuh, nggak ada kan racunnya?” aku tersenyum puas. “Sekarang, coba kamu yang minum teh saya.”

Kamu menggeleng. Tanganmu menyentuh meja. Bukan untuk meraih cangkirnya, melainkan untuk meraih sebatang lagi dari dalam kotak.

Huh.

“Tadi pagi kamu pergi ya, sama anak-anak?” tahu-tahu kamu mengalihkan pembicaraan.

Aku mengangguk. “Iya, tadi ke kebun teh. Sudah lama saya nggak kesana. Tempatnya belum banyak berubah. Kamu masih ingat? Dulu kita sering kesana. Kamu menemani saya na-”

“Naik kuda keliling kebun teh. Kamu dulu selalu minta saya temani naik kuda. Ya, saya masih ingat,” potongmu. “Dulu kamu cuma mau naik kuda yang putih. Yang namanya Lessy.”

Aku dapat merasakan pipiku bersemu merah. Ternyata, kamu masih ingat. Aku menghargai kamu yang sepertinya juga menghargai kenangan itu. Sudah lama sekali, kita tidak jalan-jalan berdua seperti itu. Mungkin, sudah bukan masanya lagi. Sekarang ini, berdua denganmu di teras seperti ini sudah cukup buatku. Meski tidak bisa lama-lama.

Aku berusaha keras meraba-raba lagi ingatan tentang masa muda kita. Ternyata, aku payah. Ingatanmu malah jauh lebih tajam daripadaku. Kamu bahkan masih ingat betul hari pertama kita bertemu. Kamu mengingat itu melebihi seekor anjing mengingat Tuannya.

Kita terbuai dalam kenangan lama. Betapa aku merindukannya. Kusadari sejak tadi aku hanya tersenyam-senyum bodoh karena cerita-ceritamu. Sampai-sampai, kedua pipiku sakit dan makin mengerut. Tapi, aku tak peduli. Aku bahagia seperti ini. Aku bahagia dengan adamu.

Tiba-tiba kamu bangun dari kursimu, berdiri, lalu meninggalkannya.

“Mau kemana?” aku bertanya-tanya. Kamu tak menjawab. Kamu tetap melenggang.

“Tehnya diminum dulu. Nanti keburu dingin,” aku menyeru. Kamu semakin jauh. Kepulan asapmu hanya sebersit terlihat oleh mataku.

Langkahmu terhenti. Kamu terdiam. Hanya memandang ke arahku, menghabiskan sisa batang terakhir yang terselip di antara dua jarimu. Kamu mengisyaratkan agar aku menengok ke belakang.

Ada yang menepuk bahuku pelan. Aku sudah tahu siapa.

“Oma, ayo ke dalam, Oma. Sudah mau Maghrib. Nggak bagus loh sendirian di luar Maghrib-Maghrib,” Ana meraih tanganku, mengajakku masuk ke dalam rumah.

Kamu berisyarat lagi padaku dari jauh. Kamu bilang: “Masuk saja. Nanti tehnya kuminum.”

Aku mengiyakan. Aku memercayaimu. Kuikuti Ana memasuki rumah. Tak lupa kubawa masuk pula cangkir teh yang telah kosong, Kedip mata kita adalah tanda perpisahan senja itu.

—

Esoknya, aku dibangunkan pagi-pagi sekali oleh adzan Subuh yang menggaung. Sehabis sembahyang, aku berjalan ke teras. Hendak melihat akhir dari apa yang kemarin belum terselesaikan.

Tak kudapati kokohnya Gunung Pangrango. Langit biru gelap tertutup awan. Tidak ada kamu disana. Pagi ini dan senja kemarin bagaikan dua jagat yang berbeda.

Satu-satunya yang masih sama adalah kursi-kursi tempat kita berbincang, serta sebuah meja di antara keduanya. Di meja itu, satu cangkir teh masih tergeletak. Aku tahu disanalah letak jawaban atas segala tanya tentangmu..

—

Cangkir teh itu masih penuh.                            

"Wonderwall" by Oasis

from the album (What's the Story) Morning Glory?

To be honest, I never liked this song. I mean, I really like this song, but never in a religious way (if you know what I mean). Clearly, it is the most popular Oasis song besides Don't Look Back In Anger. Thus, I thought it was just a "basic, Oasis fan-starter kit" song. I'd rather listen to other songs from the Morning Glory album. Maybe Champagne Supernova, maybe She's Electric. You know, I was looking for something more extravagant.

But lately, it's been changing as I watched an episode of a Netflix series, in which this song was played numerous times. I tried to listen carefully to the lyrics, to the tunes. It occurs to me that I just realized how nostalgic it feels.

Maybe since I'm going to graduate from high school in less than a month, my mind is so packed with feelings of not wanting to let go. Memories rush back to me like ocean waves. I miss everything already, when in fact, it's not even over yet.

It is now that I realized how much "I don't believe that anybody feels the way I do about you now" means. I've always been so possessive and attached for everyone that aren't exactly mine. They just simply exist in my life and I'm thankful for that, despite of them being the Sun to somebody else's Solar System.

"There are many things that I want to say to you, but I don't know how". Yes, I did lots of things in high school. But I did miss lots of things, too. I never get to know everyone personally. I never get to embark real conversations with people. It's not something that I regret, but still, I wish I did that when I had the time. I should have paid attention and noticed how much every single person means to me. And I should have said more nice things that I could say. Those could have "saved me".

And for my Wonderwall—I never know who it actually is. It could only be one person. It could be a group of people. Or it could just be no one at all. As if my mind is playing tricks with me again—projecting fake images and personalities of people when they are not even that good in real life. Just like what Noel said himself, "(Wonderwall is) an imaginary friend who's gonna come and save you from yourself."

Nox, 

Ray

Hari ini, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pasar Santa, salah satu tempat di Jakarta Selatan yang sudah lama ingin saya kunjungi. Jalan-jalan saya hari ini bisa dibilang akan jadi yang "terakhir" sebelum saya harus menghadapi ujian-ujian sekolah di beberapa minggu ke depan.

Saya tiba di Pasar Santa sekitar pukul satu siang. Tujuan saya, yaitu untuk mampir ke toko-toko yang bertempat di lantai 1. Namun, saat saya tiba disana, ternyata belum banyak toko yang buka. Kebanyakan baru tempat-tempat yang menjual makanan. Maka dari itu, mumpung sudah memasuki waktu makan siang, saya pun memutuskan untuk memesan makanan.

Yang pertama kali saya pesan adalah Dory Fish Rice Bowl with Salted Egg dan Dory Fish Rice Bowl with Thai Sauce dari CDB eat & drink. Dengan harga 30k, saya rasa kedua menu ini cukup worth it dan "ngenyangin" untuk porsi makan siang.

Selain itu, saya juga memesan Shrimp Salted Egg Yolk dari Hello Chicken. Salted egg sauce ternyata memang lagi hits banget ya. Harganya juga nggak jauh berbeda, yaitu sekitar 27k.

Satu lagi, menu makanan yang saya pesan adalah Korean Chicken Ricebowl dari Hanji, seharga 28k.

Untuk minumannya, saya memesan Kopaja dari Selatan Jakarta. Eits, jangan bingung ya karena Kopaja ini adalah nama untuk menu Es Kopi Susu mereka. I really think that they're so creative in creating these names, both for the the shop and for the menu.

Setelah puas makan-makan, saya pun berkeliling di sekitar lantai 1. Nah, memasuki jam dua, toko-toko yang buka sudah mulai bertambah. Di antara toko-toko tersebut, ada satu yang benar-benar menarik perhatian saya—apalagi kalau bukan toko buku!

Toko buku mungil ini bernama POST Bookshop. It's not like any other book shop that I've been to before. Selain tempatnya yang nyaman, toko buku ini juga menjual buku-buku dengan genre yang unik. Saya sendiri termasuk orang yang sangat suka berlama-lama di tempat apapun yang menyimpan banyak buku. Yes, my heart lies within the existence of books.

Sejak kecil, saya selalu terbiasa untuk selalu baca buku. Sejujurnya, bacaan saya belum terlalu banyak, karena saya agak posesif when it comes to books. Kalau biasanya orang lain pinjam-pinjaman buku bacaan, nah, saya ini selalu ngerasa harus punya bukunya dulu kalau mau baca. Ribet, ya?

Sayangnya, kali ini saya nggak bisa berlama-lama karena harus buru-buru pulang ke rumah. Tapi untungnya, saya sempat untuk beli dua buah buku: Rahasia Selma karya Linda Christanty dan Fangirl karya Rainbow Rowell. Kedua-duanya dengan harga 50k (untuk Fangirl, yang saya beli adalah buku secondhand yang kondisinya masih bagus).

Di lain waktu, saya pasti mau untuk keliling-keliling lagi di Pasar Santa. Masih banyak toko-toko yang ingin saya "jelajahi". Hopefully, saya bisa kembali kesini setelah dapet PTN yang saya cita-citakan nanti. Aamiin. 

Happy Sunday!

Beberapa hari terakhir ini nggak tau kenapa saya lagi ngidam banget dessert. Entah cake, waffle, pancake, mousse, rasanya pengen saya masukkin semua ke dalam perut! Efek kebanyakan food-blogwalking mungkin, ya? Hoho.

Maka, untuk memenuhi ke-BM-an sekaligus menyambut malam Minggu kali ini, saya menyambangi sebuah tempat makan bernama Hello Sunday untuk ngemil-ngemil.

Hello Sunday ini berlokasi di Cikini, tepatnya di lantai 2-nya Gedung Metropole. Saya udah lama juga nggak ke daerah sini, jadinya baru ngeh kalo sekarang disini banyak kuliner-kuliner baru.

Seluruh area Metropole, memang khas dengan suasana modern-colonial. Jadi, Hello Sunday yang berada di dalamnya juga punya vibes yang sama, which I really love.

Saya tiba disana sekitar jam 6 sore dan saat itu hampir seluruh seat terisi penuh. Hello Sunday ini letaknya agak pojok. Tempatnya nggak terlalu luas, terutama untuk bagian smoking area-nya di luar. Tapi, untungnya, saya masih kedapetan tempat duduk di dalam.

Salah satu first impression saya tentang Hello Sunday ini adalah pelayanan para waiters-nya. Dari pertama kali saya menjejakkan kaki sampai dengan saya meninggalkan tempat, the waiters seem to have a great interest in their customers. Ini poin plus bagi saya, karena biasanya tempat makan yang lagi ramai, pelayannya jarang ada yang istilahnya mau "ngeladenin". Tapi disini, waiters-nya ramah dan sopan.

 

Saat saya pesan makanan pun, Mbak waitress-nya cukup persuasif dalam mengenalkan menu-menu lainnya.

Chocolate Chips Waffle (39k) + Java Tea Ice Cream (20k)
 

Dari penyajiannya, lumayan bikin ngiler, deh. Tapi, secara rasa, nggak terlalu spesial, karena coklatnya nggak begitu berasa. Untuk Java Tea Ice Cream-nya it's a must-try! Rasa Java Tea-nya berasa banget, baik saya maupun teman yang makan kesini juga sama-sama suka dengan Java Tea ini. Topping caramel popcorn-nya juga crunchy, rasanya persis sama caramel popcorn di XXI.

Iced Coffee Latte (35k)

Iced coffee latte ini bagi saya juga not so special. Mungkin seharusnya saya pesan signature drinks lainnya, ya? Karena di Hello Sunday ini lumayan banyak pilihan minuman lain seperti single origin coffee atau organic artisan tea.

Almond Choco Waffle (35k) + Java Tea Ice Cream (20k)

Rasa waffle-nya mungkin just like any other waffles, tapi sentuhan almond dan choco-nya lah yang bikin enak. Plus, the java tea ice cream's still THE BOMB <3

Iced Mojito Lime Tea (35k)

Iced Mojito Lime Tea (35k)

Iced mojito lime tea ini disajikan dalam mason jar glass. It's quite refreshing dan lebih cocok sama selera saya dibandingkan dengan iced coffee latte tadi.

Overall, Hello Sunday is a cozy and nice choice untuk ngemil-ngemil cantik di Jakarta Pusat. I'd definitely want to try the other menus sometime.

Hello Sunday Cikini

Address: Metropole XXI Lantai 2, Jl. Pangeran Diponegoro No. 61, Cikini, Jakarta Pusat

Opening Hour: 10am - 11pm (Mon-Thu), 10am - 11pm (Fri), 10am - 12am (Sat), 10am - 11pm (Sun)

Av. spending for two: 250k
Instagram: @hellosundayindonesia


Nox,

Ray

Selamat Tahun Baru 2018!

Beberapa bulan terakhir ini, saya mulai punya ketertarikan baru, yaitu.. belajar Bahasa Isyarat! Entah asalnya darimana saya jadi suka. Tapi, dulu itu saya belajarnya ASL (American Sign Language) karena sudah banyak video-videonya di YouTube. Waktu itu, saya belum tahu dimana tempat untuk mempelajari Bahasa Isyarat, khusunya BISINDO, di Jakarta.

Nah, setelah itu, saya tiba-tiba nemu akun Instagram dari salah satu aktivis tuli, yaitu Surya Sahetapy. Saya ingat betul, sewaktu kecil saya sering lihat dia kalau nemenin Mama nonton tv. Dari salah satu post-nya di Instagram, barulah saya tahu tentang kelas-kelas Bahasa Isyarat yang tersebar di Indonesia, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Sayangnya, Pusat BISINDO yang berlokasi di Jakarta, saat itu belum buka pendaftaran. (tapi sekarang udah buka lagi, kok!)

Di post itu juga saya baru tahu kalau ada tempat belajar Bahasa Isyarat di Salatiga. Kebetulan, orangtua saya ngajak ke Salatiga liburan ini. Jadilah, saya langsung cari informasi dan menemukan akun Instagram Sahabat Tuli. Ternyata... lokasinya sangat dekaattt dengan rumah Eyang saya, tepatnya di Sarang Lebah, yang letaknya di daerah Kembang Arum, Dukuh, Salatiga.

Karena dari informasi yang saya dapat, kelasnya dibuka tiap Sabtu dari jam 10.00 - 13.00, maka hari Sabtu tanggal 30 Desember lalu, saya menyempatkan diri untuk kesana bareng Mama dan adik.

Bagian depan Sarang Lebah, Salatiga.

Bagian depan Sarang Lebah, Salatiga.

Ini dia, nampak depan dari Sarang Lebah. Unik, ya? Sayangnya, saya lupa untuk foto dari jauh. Setibanya disana, saya disambut oleh Mbak Puhan, Mbak Dewi, dan Mbak Wulan.

Karikatur-karikatur di Sarang Lebah.

Banyak yaa, barang-barangnya?

Di dalam ruangannya ini tertata rapi dan banyak sekali barang-barang koleksi yang dijual. Fyi, Sarang Lebah ini pertama kali diresmikan tahun 2012, dengan nama Bee 100% yang kemudian berganti nama menjadi Sarang Lebah di tahun 2013. Sedangkan Kumpulan Tuli Salatiga, sudah ada sejak tahun 2006.

Interiornya lucu dengan kayu dan dinding bata.

Ada kartu-kartu ucapan, gantungan kunci, dll.

Awalnya, baru ada saya sendiri yang datang. Saya pun mulai belajar Isyarat dengan diajari Mbak Wulan, mulai dari abjad A-Z, lalu Kosakata 1 dan Kosakata 2. Untuk abjad, masih nggak terlalu sulit, tapi setelah masuk ke kosakata anggota keluarga, sekolah, dan sapaan, barulah saya jadi bingung.

Kadang-kadang, kalau saya mau tanya-tanya tapi nggak tahu isyaratnya, bisa dieja huruf per huruf atau ditulis di kertas kecil sehingga saya bisa tanya apa saja. Ternyata, ada beberapa isyarat yang mirip dengan ASL, misalnya kata "belajar", "masih", "nama", dan sebagainya. Sementara saya belajar Isyarat, adik saya mewarnai gambar-gambar karyanya Mbak Puhan.

Hasil mewarnai adik saya di Kelas Mewarnai.

Belajar isyarat dengan Mbak Dewi.

Selang beberapa lama, datanglah teman-teman baru yang belajar juga. Tapi, Mbak-Mbak tersebut sudah pernah datang sebelumnya dan sudah masuk ke Kosakata yang lebih kompleks dengan diajari oleh Mbak Dewi. Setelah saya selesai belajar Kosakata 1 & 2, saya gabung dengan Mbak-Mbak tersebut untuk main games. Yay!

Semakin siang ternyata semakin ramai, lho. Ada Mas-Mas dari Sahabat Tuli yang ikut main games juga. Kalau masalah main game, jujur aja saya payaaah. Hehe. Tapi kalo ditanya seru atau nggak? Seru dong, pastinya!

Sebelum pamit, foto-foto dulu dong.

 
Nggak kerasa sudah jam 1 siang dan saya sudah harus pamit. Sebelum pulang, saya bersama Mbak-Mbak dan Mas-Mas dari Sahabat Tuli foto-foto dulu sekaligus bikin video spesial edisi Tahun Baru!

Gantungan kunci yang saya beli, masing-masing harganya Rp.15.000.

Saya juga beli beberapa merchandise dari Sarang Lebah. Ada banyak sekali pilihan barang-barangnya, tapi akhirnya pilihan saya jatuh pada kedua gantungan kunci ini.

Nah, kalau teman-teman berkunjung ke Salatiga, jangan lupa untuk berkunjung kesini juga, ya!

Sarang Lebah Salatiga
Jl. Nakula Sadewa I No. 17, Kembang Arum, Dukuh, Salatiga. 

Instagram : @sarang.lebah
@sahabat.tuli


Nox,

Ray