Cerita Pendek: Dua Cangkir Teh

By Rayfienta G - 6:41 PM

photo source: Flickr

DUA CANGKIR TEH
Kumandang adzan Ashar menelusup masuk lewat sela-sela jendela kamar. Aku membuka mata, menatap dinding yang berbayang remang-remang.
Sehabis melipat selimutku yang kusut, aku melangkah ke dapur, melewati ruang tamu dimana seorang anak gadis nampak terbahak-bahak di depan ponselnya. Ia tak menyadari aku yang lewat tak jauh di depannya.
Kuambil setoples bubuk teh dari rak di dapur. Lalu, perlahan kusulap jadi minuman teh manis hangat. Dua cangkir.
Dengan nampan yang sudah berkarat-karat, kubawa keduanya keluar. Ke teras depan rumah. Tempat aku biasa memandangi Pangrango yang kokoh. Tempat dimana aku biasa memandangi langit yang mulai meredup. Tempat dimana aku biasa memandangi kamu yang tengah duduk.
Kuletakkan nampan itu di meja. Kemudian, kutempati bangku di sebelahmu. Meja di antara kita bukan pembatas; ialah yang menjembatani kita berdua. Satu cangkir teh untukmu, satu lagi untukku. Selalu seperti itu.
“Kok teh yang kemarin nggak diminum?” tanyaku menggerutu, membuka pembicaraan.
Kamu tertawa. Masih mengisap sigaret yang asapnya mengepul menutupi wajahmu.
“Nggak pa-pa. Saya tahu kamu suka sekali teh. Barangkali, kalau punyamu sudah diminum habis, kamu nggak perlu buat lagi. Minum aja yang punya saya.” jelasmu. Penjelasan yang bagiku sedikit konyol, namun mampu membuatku terkikik. Kamu selalu bisa membuat kekonyolan menjadi sesuatu yang manis. Melebihi manisnya teh dalam dua cangkir yang kubuat.
“Ah, kan ini saya raciknya untuk kamu. Bukan untuk saya sendiri,” aku berupaya membujuk. Kamu masih belum mau menyentuh cangkirnya.
“Yang kamu buat untuk saya, ada racunnya ya, jangan-jangan? Sampai harus sekali saya yang minum?” tanyamu usil. Pandangan matamu beradu dengan pandanganku. Kamu suka menggoda. Kamu selalu penuh canda.
Aku hanya melengos. Tak mau menyerah, kuambil cangkir teh milikmu. Kuteguk isinya sampai habis tanpa sisa.
“Tuh, nggak ada kan racunnya?” aku tersenyum puas. “Sekarang, coba kamu yang minum teh saya.”
Kamu menggeleng. Tanganmu menyentuh meja. Bukan untuk meraih cangkirnya, melainkan untuk meraih sebatang lagi dari dalam kotak.
Huh.
“Tadi pagi kamu pergi ya, sama anak-anak?” tahu-tahu kamu mengalihkan pembicaraan.
Aku mengangguk. “Iya, tadi ke kebun teh. Sudah lama saya nggak kesana. Tempatnya belum banyak berubah. Kamu masih ingat? Dulu kita sering kesana. Kamu menemani saya na-”
“Naik kuda keliling kebun teh. Kamu dulu selalu minta saya temani naik kuda. Ya, saya masih ingat,” potongmu. “Dulu kamu cuma mau naik kuda yang putih. Yang namanya Lessy.”
Aku dapat merasakan pipiku bersemu merah. Ternyata, kamu masih ingat. Aku menghargai kamu yang sepertinya juga menghargai kenangan itu. Sudah lama sekali, kita tidak jalan-jalan berdua seperti itu. Mungkin, sudah bukan masanya lagi. Sekarang ini, berdua denganmu di teras seperti ini sudah cukup buatku. Meski tidak bisa lama-lama.
Aku berusaha keras meraba-raba lagi ingatan tentang masa muda kita. Ternyata, aku payah. Ingatanmu malah jauh lebih tajam daripadaku. Kamu bahkan masih ingat betul hari pertama kita bertemu. Kamu mengingat itu melebihi seekor anjing mengingat Tuannya.
Kita terbuai dalam kenangan lama. Betapa aku merindukannya. Kusadari sejak tadi aku hanya tersenyam-senyum bodoh karena cerita-ceritamu. Sampai-sampai, kedua pipiku sakit dan makin mengerut. Tapi, aku tak peduli. Aku bahagia seperti ini. Aku bahagia dengan adamu.
Tiba-tiba kamu bangun dari kursimu, berdiri, lalu meninggalkannya.
“Mau kemana?” aku bertanya-tanya. Kamu tak menjawab. Kamu tetap melenggang.
“Tehnya diminum dulu. Nanti keburu dingin,” aku menyeru. Kamu semakin jauh. Kepulan asapmu hanya sebersit terlihat oleh mataku.
Langkahmu terhenti. Kamu terdiam. Hanya memandang ke arahku, menghabiskan sisa batang terakhir yang terselip di antara dua jarimu. Kamu mengisyaratkan agar aku menengok ke belakang.
Ada yang menepuk bahuku pelan. Aku sudah tahu siapa.
“Oma, ayo ke dalam, Oma. Sudah mau Maghrib. Nggak bagus loh sendirian di luar Maghrib-Maghrib,” Ana meraih tanganku, mengajakku masuk ke dalam rumah.
Kamu berisyarat lagi padaku dari jauh. Kamu bilang: “Masuk saja. Nanti tehnya kuminum.”
Aku mengiyakan. Aku memercayaimu. Kuikuti Ana memasuki rumah. Tak lupa kubawa masuk pula cangkir teh yang telah kosong, Kedip mata kita adalah tanda perpisahan senja itu.
Esoknya, aku dibangunkan pagi-pagi sekali oleh adzan Subuh yang menggaung. Sehabis sembahyang, aku berjalan ke teras. Hendak melihat akhir dari apa yang kemarin belum terselesaikan.
Tak kudapati kokohnya Gunung Pangrango. Langit biru gelap tertutup awan. Tidak ada kamu disana. Pagi ini dan senja kemarin bagaikan dua jagat yang berbeda.
Satu-satunya yang masih sama adalah kursi-kursi tempat kita berbincang, serta sebuah meja di antara keduanya. Di meja itu, satu cangkir teh masih tergeletak. Aku tahu disanalah letak jawaban atas segala tanya tentangmu..







Cangkir teh itu masih penuh.                            

  • Share:

You Might Also Like

5 comments