Di kelas 7 SMP, saya merasa sangat gagal karena nggak pernah bisa lulus
ulangan Fisika. Saya nggak bisa Matematika. Saya nggak bisa memahami apa
maksudnya angka, kurva, rumus, dan semua yang berhubungan dengan
hitung-hitungan.
Di
tahun yang sama, kegagalan di salah satu bidang akademis itu bercampur
dengan tension yang muncul selama masa-masa adolescent saya. Saya sering
nggak mau sekolah. Karena jujur, saat berada di lingkungan sekolah,
saya lebih sering merasa nggak nyaman dibandingkan senang.
And I was depressed. I felt so wrecked and hopeless. Padahal usia saya saat itu masih tiga belas.
Selang
beberapa lama, saya bisa recover dari semua itu, with the help of my
family and closest friends. Saya tahu betul ketidakminatan saya dengan
Fisika dan Matematika, jadi saya memilih jurusan IPS di SMA.
Awalnya
saya kira, saya akan suka pelajaran Ekonomi. Saya bahkan ikut kelas
pembinaan OSN Ekonomi di hari Sabtu. But that wasn't long, sampai
muncullah bab yang menyangkut dengan angka dan kurva. Saya menciut,
merosot. Saya berhenti karena tahu saya nggak akan suka.
Walaupun
saya di jurusan IPS, pasti tetap harus berhadapan dengan semua itu kan.
Apalagi Matematika itu pelajaran wajib. Di kelas 10, saya sempat mikir,
"Why am I so dumb?". Karena saya merasa level saya di Matematika mentok
sampai pelajaran anak kelas 6 SD.
Saat saya masuk OSIS, berhadapan dengan bidang-bidang lainnya yang sebenarnya masuk ke dalam kategori soft skills. Saya benar-benar insecure karena teman-teman saya bisa ini-itu kesana kemari. Ngurusin semuanya nggak pernah lelah. Sedangkan saya nggak bisa apa-apa. Dikit-dikit cepat capek. Bahkan, perasaan insecure ini masih saya rasakan saat saya sudah selesai menjabat.
Saat saya masuk OSIS, berhadapan dengan bidang-bidang lainnya yang sebenarnya masuk ke dalam kategori soft skills. Saya benar-benar insecure karena teman-teman saya bisa ini-itu kesana kemari. Ngurusin semuanya nggak pernah lelah. Sedangkan saya nggak bisa apa-apa. Dikit-dikit cepat capek. Bahkan, perasaan insecure ini masih saya rasakan saat saya sudah selesai menjabat.
Akhirnya
saya dibuat mikir lagi, sebenarnya kalo dilihat-lihat, many of these
successful people around the world are specialized within their own fields.
Contohnya, rider favorit saya, Marc Marquez. He is a 6 times World
Champion in MotoGP. Tapi, can anyone guarantee that he's good in other
subjects? Atau, supermodel favorit saya, Adriana Lima? Would she still
be that successful if she hadn't pursue an actual career in fashion?
That
should be the same for me, and for anyone. Ya, memang kita tetap harus
ngejalanin semua bidang pelajaran itu sebagai syarat kelulusan. But at
the end, we can only be ourselves.
Dari
dulu, Mama saya selalu bilang, "Dek, coba lanjutin nulisnya. Lanjutin
sanggar narinya," atau "Dek, nanti kalo udah gede jadi psikolog ya,"
But dumb me, I never listened.
Sampai akhirnya saya, yang sekarang ini mulai berkaca. Those are exactly the things that I'm good and can excel at.
Dari
menulis, saya bisa menjadi bagian dari Parlemen Remaja, ke Gedung DPR
dan merasakan bagaimana jadi seorang anggota dewan. Saya bisa buat blog,
yang bisa dibaca sama orang-orang (walaupun isinya rada nggak penting). Saya bisa jadi kontributor untuk
salah satu edisi Provoke!, liputan sekaligus nonton Honne gratisan. Sinopsis literasi (I know you guys hate it, but,
for people like me it does mean something) yang saya buat bisa Juara I juga
walaupun baru di tingkat sekolah. Artikel saya dipilih menjadi yang
terbaik di antara tulisan varsity students yang lain di Jakarta MUN
2016 Ambassadors. Tulisan essai saya bisa menyumbangkan satu lagi piala
Juara I untuk sekolah. Dan hopefully, saya bisa menyelesaikan sebuah
novel yang sedang dalam proses.
And you know what exactly I want to be in life now? Jadi psikolog, penulis, traditional dancer, dan jadi seorang ibu.
All those things, Mama saya sudah tahu sebelum saya sendiri menyadarinya.
Sebenarnya
moral story dari semua ini bukan "Listen to your mother". Karena yang
namanya masih muda, dengerin orangtua itu memang wajib ya.
But, the moral, yang mau saya beberkan disini adalah: Everyone was made differently. The world is not a one-size-fits-all.
Sadari
kalau kita semua punya kelebihan dan kelemahan. Kalau kita memang nggak
bisa dan nggak minat di suatu bidang, masih ada ratusan ribu bidang
lainnya dimana kita bisa berhasil.
Saya
sendiri juga belum sukses, tapi dengan bersyukur atas semua hal yang
saya miliki sekarang, itu membuat saya jauh lebih bahagia. Sangat
bahagia, malah. Makanya sekarang, kalo ada apa-apa saya masih tetap
senyam-senyum aja. (Bete juga masih sering sih, tapi betenya nggak sampai berlarut-larut). Being grateful is the ultimate key.
Dan
jangan lupa, your attitude would still remain as your identity. Saya
kenal orang-orang yang katanya mau sukses, tapi dari attitude nya sama
sekali nggak mencerminkan usahanya. Di poin ini, saya setuju dengan
quotes dari buku GIRLBOSS tulisan Sophia Amoruso: "Good old-fashioned
manners can get you very far."
Walaupun manners yang cuma se-simpel: dengarin kalau orang lain lagi ngomong,
kalau dikritik iyain aja, atau bilang maaf sekalipun bukan kita yang
salah; I've seen many people who are reluctant to all that. (For better manners-tips, read: How to Win Friends and Influence People by Dale Carnegie)
Balik
lagi ke topik utamanya. I believe everyone has special things within
their ownselves. Hanya bagaimana cara kita mensyukuri dan membuat yang terbaik dari itu.
Tulisan ini mau saya tutup dengan quotes, lagi-lagi dari Sophia Amoruso:
"Focus on the positive things in your life and you’ll be shocked at how many more positive things start happening."
Nox,
Ray